Latar Belakang

Logo Baru (2022-Sekarang)

Logo Lama (2016-2021)



Isu kesehatan mental di Indonesia masih kurang menjadi perhatian utama masyarakat dan pemerintah.Hal ini diantaranya ditunjukkan dengan semakin maraknya kasus pemasungan terhadap orang dengan gangguan mental (ODGM), rendahnya dukungan sosial dan tingginya stigma negatif atau kurang baik terhadap ODGM. Selain itu, dari sisi kebijakan, Kementrian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2014 menyerukan agar tidak melakukan penolakan atau menunjukkan keengganan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada ODGM. Namun, BJPS sendiri tidak mengatur hal itu. BPJS tidak menanggung penyakit-penyakit akibat self harm yang sangat mungkin dilakukan oleh ODGM dan obat-obatnya sangat terbatas. Kemenkes (2014) juga menghimbau untuk senantiasa memberikan akses masyarakat pada pelayanan kesehatan, baik akses pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi maupun reintegrasi ke masyarakat pasca perawatan di rumah sakit jiwa atau di panti sosial. Meskipun demikian, penderita gangguan mental yang diberikan fasilitas pengobatan masih terbatas. Menurut perhitungan utilisasi layanan kesehatan jiwa di tingka primer, sekunder, dan tersier kesenjangan pengobatan diperkirakan lebih dari 90 persen. Dengan demikian, hanya di bawah 10 persen orang dengan masalah kesehatan jiwa terlayani di fasilitas kesehatan (Riskesdas, 2007).


Semakin meningkatnya kasus-kasus dan fenomena  terkait masalah kesehatan mental di IndonesiaKasus-kasus tersebut terutama bunuh diri dengan berbagai penyebab. Pada tahun 2013, ada 840 kasus bunuh diri. Tren bunuh diri diperkirakan semakin meningkat pada tahun 2017 dan bergeser ke usia produktif (25 – 50 tahun). Berhubungan dengan data, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, dikombinasi dengan Data Rutin dari Pusdatin dengan waktu yang disesuaikan, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.


Isu kesehatan mental menjadi isu sentral pembangunan kesehatan global.
Data dari WHO menunjukkan bahwa pada 2015, 3,9 persen remaja usia 13 hingga 17 tahun telah mencoba bunuh diri setidaknya sekali. 4,8 persen diantara responden juga mengalami gejala gangguan kecemasan. Pada tahun 2012, estimasi WHO mengenai disability-life adjusted years (DALY) menempatkan Unipolar Depressive Disorders pada peringkat 9 dari 20 penyakit utama, apabila dibandingkan dengan penyakit menular (communicable diseases) atau penyakit tidak menular (non-communicable diseases) lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun gangguan mental belum terlalu dipandang sebagai masalah epidemiologis, gangguan mental ternyata memiliki dampak yang cukup signifikan dalam membuat jutaan orang hidup dalam disabilitas. WHO sendiri telah menegaskan bahwa definisi sehat merupakan definisi yang sifatnya integral; artinya bukan hanya sekedar bebas dari penyakit, namun kondisi dimana seseorang mencapai kesejahteraan paripurna secara fisik, mental dan sosial. WHO juga telah menggeser definisi kesehatan mental menjadi lebih komprehensif dan positif, tidak hanya terbatas pada tidak adanya penyakit jiwa, tetapi juga kemampuan individu untuk menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan yang normal dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif, dan mampu berkontribusi terhadap masyarakat. WHO menjadikan kesehatan mental sebagai isu kesehatan global.


Penanganan Kesehatan Mental yang masih kurang terintegrasi.
Arah kebijakan kesehatan mental di Indonesia masih berkutat di area kuratif dan masih belum memberikan porsi yang sama pada upaya preventif, promotif maupun rehabilitatif. Kemenkes (2014) mengajak masyarakat melakukan berbagai upaya prmotif dan preventif untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan, mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, meminimalisasi faktor risiko masalah kesehatan jiwa, serta mencegah timbulnya dampak psikososial. Upaya-upaya tersebut telah dilakukan, namun masih perlu dikemas dengan lebih menarik. Pihak-pihak yang terlibat juga bukan terbatas dari Pemerintah. Lebih dari itu, semua pihak perlu untuk ikut berpartisipasi.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.