Selamat Berkembang Remaja “Zaman Now”


Kehidupan itu selalu berjalan, bahkan berlari meninggalkan pemiliknya yang terlena dengan fase-fase tertentu. Mungkin kita tak menyadari bahwa sekarang kita sudah mencapai usia dewasa, tapi kita masih berkutat pada fase remaja kita. Akhirnya tugas-tugas perkembangan remaja maupun sifat-sifat “keremajaan” masih diselesaikan dan muncul di masa dewasa. Nah, hati-hati saja dengan kondisi ini. Kalau menurut para ahli psikoanalisa (salah satu aliran besar dalam ilmu psikologi), kita yang tertinggal ini secara mental kurang baik, atau dengan kata lain, ada yang salah dengan kita. Mengapa seperti itu?

Bagi sebagian orang, masa remaja itu adalah masa-masa yang paling indah, masa kasmaran, masa eksplorasi, masa yang tidak perlu-perlu amat untuk bertanggung jawab karena kita berpikir bahwa orang dewasa akan memahami kalau kita masih belum dewasa sepenuhnya, tapi juga masa ketika kita mulai diberi tanggung jawab karena kita sudah bukan anak-anak lagi. Kok gitu ya? Itu untuk sebagian orang. Tapi pada dasarnya, menurut ahli-ahli perkembangan manusia, masalah seperti yang diceritakan di atas bisa muncul diantaranya karena tidak terpenuhinya tugas perkembangan saat masa remaja. Hmm, apa saja tugas perkembangan remaja? 


Masa Remaja dan Tugas Perkembangannya
Sebelumnya, mari kita menilik dulu penjelasan salah satu ahli perkembangan terkenal yang bukunya selalu dirujuk, Hurlock. Menurutnya, masa remaja berlangsung sejak individu menjadi matang secara seksual sampai sekitar usia delapan belas tahun. Usia kematangan yang resmi dibagi ke dalam awal masa remaja, yang berlangsung sampai usia tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja yang berlangsung sampai usia kematangan yang resmi (Hurlock, 2002).  Pembagian ini dilakukan karena adanya perbedaan-perbedaan karakteristik yang menandai setiap masanya. Rumusan usia remaja ini juga berbeda-beda dalam beberapa sumber. Namun, umumnya disepakati dari pandangan para ahli bahwa usia remaja berlangsung antara usia 12 (atau lebih cepat 2 tahun) sampai kira-kira 21 atau 22 tahun.
Masa merupakan suatu periode peralihan dan perubahan, masa mencari identitas, masa tidak realistis, masa badai, masa tekanan, ambang dewasa, dan dikenal juga sebagai usia bermasalah (Hurlock, 2002). Istilah-istlah tersebut muncul seiring dengan berbagai masalah yang muncul pada masa itu. Bahkan, berkembang stereotip bahwa masa remaja penuh dengan penyimpangan dan ketidakwajaran. Banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan mendukung stereotip tersebut.
Menurut Hurlock, ada beberapa masalah yang seringkali dialami remaja dalam memenuhi tugas-tugas perkembangannya, yaitu masalah pribadi dan masalah khas remaja. Masalah pribadi meliputi masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai. Sementara itu, masalah khas remaja merupakan masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja, seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban dibebankan oleh orang tua. Kompleks juga ya? Memang terkadang menjadi sangat kompleks.
Nah, seperti yang sempat disinggung sebelumnya, penguasaan tugas-tugas perkembangan remaja memerlukan perubahan-perubahan yang besar dalam sikap dan pola perilaku anak-anak. Banyak remaja mencapai usia kematangan dengan beberapa tugas perkembangan yang belum dikuasai ketika masa kanak-kanak sehingga membawa banyak tugas yang yang belum terselesaikan. Hal inilah yang kemudian menimbulkan masalah-masalah di fase selanjutnya (Hurlock, 2002).
Berikut adalah tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurst:
1. Mencapai hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis
2. Mencapai peran sosial maskulin atau feminin
3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif
4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi
6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja
7. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga
8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara
9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial
10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku.
Wah, banyak juga ya. Tapi, mari kita pikir-pikir lebih dalam, jika kita bisa menyelesaikan tugas-tugas itu sebagai remaja maka kita akan menjadi remaja yang sehat dan berfungsi. Dan hal itulah yang diharapkan.  Tentu saja kita tidak bisa memenuhinya sendirian tanpa dukungan dari pihak lain. Ada pihak yang memiliki peran urgen dalam membantu remaja memenuhi tugas-tugasnya itu, sebut saja orang tua, guru di sekolah, pemuka agama, pemerintah dan masyarakat umum.
Penting kita ketahui bahwa lingkungan sosial dan budaya memiliki pengaruh dalam merumuskan tugas-tugas perkembangan remaja tersebut. Beberapa tugas-tugas tersebut adalah bagian dari konstruksi budaya, norma, yang mana merupakan tugas-tugas ataupun peran yang diharapkan oleh masyarakat dilakukan ataupun dicapai oleh remaja, sehingga bisa jadi akan berbeda cara mempersepsikannya antara satu budaya dengan budaya lainnya. Mari kita lihat tugas mencapai kepastian untuk kemandirian ekonomi, misalnya. Pada beberapa Negara tertentu, termasuk Indonesia, orang-orang cenderung memandang remaja belum bisa atau belum siap untuk mandiri secara ekonomi. Jangankan mandiri secara finansial, kemandirian emosi pun terkadang belum. Oleh karena itu, tidak ada kondisi yang membuat remaja merasa tidak nyaman jika tidak bekerja. Di sisi lain, di Negara-negara Barat seperti Amerika misalnya, orang tua memberi kebebasan dan pilihan kepada anaknya untuk mulai memikirkan kemandirian ekonomi ketika remaja, setidaknya untuk keperluan pribadinya.
Sejalan dengan tugas memilih pekerjaan dan persiapan diri untuk bekerja, hal ini juga tidak begitu familiar bagi remaja-remaja di Indonesia pada umumnya, terutama pada generasi-generasi sebelumnya. Tugas ini dianggap sebagai tugas orang dewasa. Hal ini pun dapat menimbulkan masalah lebih lanjut. Dengan anggapan itu, remaja jadinya tidak mempersiapkan jalan karirnya dengan baik sesuai fitrahnya. Ketika mau masuk universitas, mereka bingung dalam memilih jurusan. Bahkan ada juga yang dipilihkan oleh orang tuanya karena dianggap jurusan itu menjanjikan di masa depan tanpa melihat passion anaknya. Kenapa bukan orang tua sekalian saja yang ikut ujian ya?. Akhirnya remaja merasa tidak berminat dan tidak bahagia dengan kehidupan kampusnya, dia bertengkar dengan orang tua, dan parahnya lagi mencari pelampiasan yang tidak tepat. Jadi, tugas-tugas perkembangan remaja itu dapat dipersepsikan berbeda di daerah tertentu.
Hal yang juga perlu menjadi catatan adalah tugas-tugas tersebut sama, tetapi strategi-strategi yang digunakan setiap remaja tentu bisa berbeda. Strategi ini bisa dipengaruhi oleh budaya setempat juga. Misalnya, tugas mencapai hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis. Beberapa remaja berusaha mewujudkannya dengan cara kencan dan berpacaran tapi remaja lainnya tidak melakukannya, yang pertama karena nilai-nilai keluarga dan masyarakat dan yang kedua mungkin juga nilai-nilai personalnya. Nah, yang menjadi tugas remaja itu adalah mencapai hubungan yang baru yang lebih matang, bukan berpacaran (istilah untuk dua orang yang menjalin hubungan spesial). Berpacaran adalah salah satu strateginya. Kita juga bisa  mengikuti kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tugas perkembangan tersebut.

Remaja “Zaman Now”
Sekarang ini, hampir sebagian besar remaja mengenal istilah “kids zaman now” untuk menggambarkan keadaan dirinya. Istilah yang begitu viral di media sosial. Istilah yang selalu dirujuk untuk memaklumkan situasi saat ini ataupun kadang menjadi istilah yang disalahkan  ketika membahas suatu masalah remaja.
Sedikit berbicara mengenai istilah, generasi zaman now adalah istilah untuk generasi Z, dan beberapa orang juga berpendapat bahwa generasi Y akhir termasuk di dalamnya. Kemunculan istilah terkait generasi-generasi ini didasarkan pada teori yang dikembangkan oleh para sosiolog, terutama dari Amerika. Teori tersebut membagi manusia menjadi sejumlah generasi, termasuklah generasi Y dan Z. Pembagian tersebut biasanya didasarkan pada rentang tahun kelahiran. Namun, rentang tahunnya juga didefinisikan berbeda-beda menurut sejumlah pakar meskipun perbedaannya tak terlalu jauh.
Generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir pada rentang tahun 1980-an hingga tahun 1990-an, sehingga saat ini generasi tersebut berusia sekitar 24 hingga 38 tahun yang termasuk dalam kategori dewasa awal hingga dewasa madya menurut teori perkembangan psikososial. Generasi Y ini memiliki ciri khas, yaitu mereka lahir pada saat TV berwarna, mobile phone, dan internet sudah diperkenalkan sehingga mereka mahir dalam menggunakan teknologi seperti komputer, video games dan smartphone. Mereka juga banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti email, SMS, dan media sosial.
Setelah generasi Y, selanjutnya ada generasi Z. Perumusan rentang usia generasi Z ini juga bermacam-macam. Namun, dapat disimpulkan bahwa generasi Z adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1993 sampai tahun 2011, yang saat ini berusia sekitar 7 sampai 24, yaitu usia anak-anak hingga dewasa awal. Jadi, remaja saat ini termasuk dalam generasi Z. Sama dengan generasi Y, generasi Z juga ditandai dengan penggunaan teknologi bahkan lebih intens lagi. Sejak kecil, mereka sudah bersentuhan dengan gadget dan internet. Mereka mampu melakukan berbagai kegiatan di dunia virtual dalam waktu yang bersamaan.
Dekat dengan istilah “zaman now”, ada istilah generasi millenial. Generasi ini merujuk pada generasi Y karena merupakan satu-satunya generasi yang pernah melewati millenium kedua sejak teori generasi dipopulerkan pertama kali oleh Karl Mannheim tahun 1923. Namun peneliti sosial sering mengelompokkan generasi yang lahir diantara tahun 1980-an sampai 2000-an sebagai generasi millenial (saat ini berusia sekitar 18 – 38 tahun), sehingga generasi Z awal juga termasuk sebagai generasi millenial.
Karena remaja saat ini lebih banyak termasuk dalam generasi Z, karakteristik generasi ini yang akan dibahas lebih lanjut. Shane Pruitt (2017) menuliskan beberapa karakteristik generasi Z, yaitu realistis, visual, bergantung pada teknologi, kreatif, stress atau banyak tekanan, mementingkan kualitas, transparan, menyukai tantangan, menerima dan toleran dengan perbedaan, berpikiran global, memberikan pengaruh, serta menginginkan sesuatu yang lebih dan bermakna untuk hidupnya (tidak cepat puas). Generasi Z juga dikenal lebih mandiri daripada generasi sebelumnya. Mereka bisa belajar secara mandiri untuk perkembangannya ketimbang menunggu ajaran dari orang yang lebih tua. Generasi ini juga terbiasa melakukan berbagai aktivitas dalam satu waktu yang bersamaan karena mereka menginginkan segala sesuatu cepat dan tidak bertele-tele.
Ciri-ciri dari generasi Z ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pemerhati generasi ataupun agen value, karena beberapa karakteristik itu dapat berubah menjadi persoalan, termasuk pada remaja. Persoalan pertama tentu berkaitan dengan dampak penggunaan internet sebagai bagian dari gaya hidupnnya. Adiksi penggunaan internet misalnya, baik dalam hal sosial media maupun game online, yang dapat memengaruhi waktu belajar remaja di sekolah dan di rumah serta waktu bersosialisasi atau berkumpul dengan keluarga dan teman.
Berkaitan dengan kesenangan berkomunikasi dengan semua kalangan melalui jejaring sosial, remaja menjadi lebih ekspresif terkait dengan perasaannya. Terkadang mereka mengekspresikan apa saja perasaannya di media sosial mereka secara spontan. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya bullying yang lebih jauh dapat menimbulkan masalah mental pada remaja. Eksisnya remaja bersosialisasi di dunia virtual juga dapat menjerumuskannya dalam jaringan cybercrime, contohnya penyebaran foto-foto yang bersifat pribadi, penipuan, dan penculikan. Penggunaan internet secara kurang tepat juga dapat menjerumuskan remaja ke dalam perilaku kesehatan berisiko seperti akses fitur-fitur berbau porno yang menyebabkan adiksi ’narkolema’ (narkoba lewat mata), Ada juga penelitian di Amerika yang menemukan bahwa ada hubungan antara perilaku seks berisiko tertentu dengan frekuensi penggunaan internet. Hal ini tentu bisa juga terjadi di Indonesia dan beberapa memang sudah terjadi.
Lebih lanjut kebiasaan dengan teknologi sejak kecil membuat remaja generasi Z cenderung kurang dalam hal komunikasi verbal. Mereka mengandalkan komunikasi virtual bahkan dengan orang tuanya yang serumah dengannya. Isu-isu yang muncul belakangan dalam menanggapi fenomena ini adalah terkait masalah keterampilan berkomunikasi dan membina hubungan sosial. Karena terlalu bergantung pada dunia maya, remaja jadi melupakan bahwa di sekelilingnya ada dunia sesungguhnya. Di dunia itu, individu bersosialisasi dengan orang lain, membangun hubungan yang baik melalui komunikasi secara langsung. Remaja bisa kehilangan keterampilan sosial mendasar yang diperlukan seperti keterampilan memulai percakapan, membina percakapan, hingga membangun kepercayaan.
Selanjutnya, remaja generasi Z yang sibuk untuk mengembangkan diri dan terlibat dalam kompetisi dalam membangun karir, membuatnya menjadi cenderung egosentris dan individualistik. Mereka enggan untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang diperuntukkan untuk kepentingan orang banyak, apalagi yang tidak memberikan keuntungan  karena mereka menganggap hal itu dapat menyita waktunya. Generasi Z yang cenderung menyukai hal yang cepat membuatnya menjadi generasi serba instan, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses. Generasi ini bisa saja beberapa kali pindah-pindah tempat les ataupun tempat kerja, misalnya, karena kurang bersabar dalam proses belajarnya. Jika ada cara yang cepat maka cara itu akan dipilih meskipun terkadang caranya  kurang benar.
Remaja generasi Z yang selalu terpapar dengan berbagai informasi dari berbagai sumber di dunia maya kemungkinan juga akan mengantarkannya menjadi ikut-ikutan dengan tren yang ada tanpa memperjelas identitas dirinya. Setiap yang diminati banyak orang akan diikuti meskipun pada dasarnya dia tidak memiliki urusan dengan hal tersebut, atau dia tidak memiliki kapasitas yang cukup. Bisa juga berbagai informasi itu membuat remaja menjadi pembanding sosial, yang pada akhirnya menganggu ketenangan mereka sendiri karena munculnya rasa iri melihat urusan orang lain.

Generasi Optimis bersama Lingkungan Suportif.

 “Zaman now” telah membawa pengaruh yang besar pada kehidupan remaja masa kini. Kelihatannya, sebagian orang ada yang hanya berfokus pada masalah-masalah yang ditimbulkannya. Memandang bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah sesuatu yang kedepannya akan mengancam generasi remaja. Tidak jarang muncul stereotip terhadap remaja “zaman now” dari generasi-generasi sebelumnya, menggantikan stereorip yang berkembang sebelumnya pada era mereka.

Namun, apakah kita bisa menampik perkembangan teknologi yang begitu cepat? Solusi yang terpikirkan hanya menyingkirkan berbagai perangkat teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan remaja, menuntutnya untuk mengikuti aturan kita sebagai orang tua, memaksanya mengikuti standar kita yang besar di era generasi Baby Boomer ataupun generasi X, mengungungkung kreativitas yang bisa dihasilkan dengan perangkat-perangkat canggih. Terkadang kita perlu mengurangi kecemasan irasional kita bahwa teknologi adalah penyebab dari berbagai kekacauan yang ada, termasuk pada remaja.

Kita bisa mengubah sedikit cara berpikir kita, berusaha melihat sisi positif yang ada. Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa generasi Z atau generasi zaman now, pun kita sebut generasi millennial, memiliki karaktersitik yang menjadi kekuatannya yang bisa kita stimulasi lalu optimalkan. Kita bisa mendukung potensi-potensi tersebut untuk mendorong remaja menjadi lebih handal. Karakter-karakter seperti kreatif, penyuka tantangan, keinginan yang kuat untuk berkembang, mandiri, transparan, menginginkan kehidupan yang bermakna, menerima perbedaan dan berpikiran global. Semua itu bisa kita jadikan dasar untuk membuat remaja berfungsi sebaik-baiknya ditambah dengan pembinaan untuk mengarahkan remaja mempunyai pilihan dan rasa tanggung jawab yang besar. Bukankah yang muda yang aktif? Yang muda yang berkarya!

Satu hal yang harus diingat adalah remaja membutuhkan bantuan dari lingkungannya. Orang tua sebagai pembina utama dalam keluarga harus selalu mendampingi anak-anak remajanya untuk berkembang. Guru-guru sebagai pembina di sekolah perlu membantu orang tua dalam mewujudkan generasi yang diharapkan. Masyarakat sekitar termasuk tokoh agama, tokoh adat dan agen value lainnya pun memiliki peran dalam usaha ini. Tak lupa pemerintah dan media massa yang dapat membangun opini masyarakat, seyogyanya ikut berpartisipasi dengan menampilkan informasi-informasi terkait kehidupan remaja yang positif. Jika demikian maka sistem yang efektif akan terbentuk dalam upaya membina remaja generasi Z.

Remaja “zaman now” itu sendiri memiliki tanggung jawab atas dirinya masing-masing. Tidak melulu menyalahkan orang tua, guru, dan lingkungan atas permasalahnnya. Pilihan-pilihan yang diambil tentu akan melahirkan konsekuensi dan risiko yang sudah seyogyanya dijalani dan dipertanggungjawabkan. Peluang terbuka di depan mata, kelebihan-kelebihan menunggu, untuk dimanfaatkan. Kelemahan dan ancaman bukannya dilupakan tetapi menjadi pendorong untuk selalu maju. Selamat berkembang para remaja zaman now! Selamat melompat jauh nan tinggi mencapai cita-cita dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
  

Referensi:

Hurlock, Elizabeth.B. (2002). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Penulis: Syura
Editor gambar: Azmul

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.