Perilaku memaafkan adalah bentuk manifestasi dari tindakan dan kemampuan diri yang berharga untuk menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan yang dihadapi dalam suatu hubungan. Perilaku memaafkan dapat memberikan dampak yang baik untuk psikis maupun fisik, dapat memperbaiki hubungan serta memberikan kesejahteraan dalam menciptakan kedamaian.
Literatur yang berkaitan dengan pemaafan (forgiveness) telah cukup banyak berkembang di Barat (Enrigh, 2009). Di Indonesia topik pemaafan juga sudah mulai banyak dikaji (Subandi dkk., 2010). Memaafkan juga ditemukan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Enright & Fitzgibbons (2000) mengemukakan bahwa memaafkan dapat menghilangkan emosi marah. Sebaliknya, tidak memaafkan (unforgiveness) digambarkan sebagai afek, perilaku, dan respon kognitif yang negatif tehadap orang lain maupun diri sendiri, serta dapat mengantar pada kegagalan dalam fungsi sosial (Toussaint & Webb, 2005).
Sejajar dengan gerakan Psikologi Positif, penelitian-penelitian tentang memaafkan menggeser fokus dari penyakit dan patologi kepada kekuatan dan keunggulan manusia (Thompson, et al., 2005). Memaafkan ditemukan berhubungan dengan kesejahteraan subjektif (subjective wellbeing) dan kesejahteraan psikologis (psychological well being).
Pemberian maaf yang
ada dalam diri seseorang terjadi melalui serangkaian proses. Nashori (2008)
mengungkapkan adanya empat fase untuk pemberian maaf, yaitu:
- Fase
pengungkapan (uncovering phase), yaitu ketika seseorang merasa sakit
hati dan dendam. Pada fase ini mencoba membangun kesadaran bahwa semua orang
memiliki kemarahan saat disakiti, namun pilihannya apakah ia akan membuangnya
atau mempertahankan rasa marahnya tersebut.
- Fase
keputusan (decision phase), yaitu individu mulai berpikir rasional dan memikirkan
kemungkinan untuk memaafkan. Pada fase ini individu mempunyai “perubahan
pikiran” dan memilih untuk memaafkan. Individu bekerja keras untuk memaafkan
dari waktu ke waktu
- Fase
tindakan (work phase), yaitu adanya tingkat pemikiran baru untuk secara
aktif memberikan maaf kepada orang yang telah melukai hati. Pada fase ini
memerlukan empati dan niat baik untuk memaafkan.
- Fase
pendalaman (outcome/ deepening phase), yaitu internalisasi kebermaknaan
dari proses memaafkan. Disini orang memahami bahwa dengan memaafkan, ia akan
memberi manfaat bagi dirinya sendiri, lingkungan dan juga semua orang.
Pemberian maaf yang
dilakukan oleh individu yang memiliki konflik, baik antara individu dengan
orang lain maupun individu dengan pribadinya sendiri bukan merupakan suatu
tahapan yang mudah. Berbagai ahli forgiveness mencatat dalam proses
memaafkan, peran emosi sangat penting dalam
menciptakan harmoni untuk diri (Thompson et al.,2005; Hodgson & Wertheim,
2007). Salah satu teori yang sangat berpengaruh adalah Memaafkan dengan Model
Proses yang dikemukakan oleh Enright dan Fitzgibbons’s (2000), yang menjelaskan
proses yang harus terjadi agar seseorang sampai dapat memaafkan. Model ini
meliputi:
- Fase
pembukaan (uncovering) berupa konfrontasi terhadap rasa sakit emosional
yang terjadi akibat dari peristiwa menyakitkan,
- Fase
pengambilan keputusan, di mana individu menyadari bahwa keputusan untuk
memaafkan menguntungkan bagi dirinya,
- Fase
tindakan, pembentukan perspektif berpikir yang baru (reframing) akan
memfasilitasi perspective taking, empati dan rasa iba,
- Fase
hasil, individu memperoleh kelegaan emosional yang pada gilirannya dapat
meningkatkan rasa iba.
Dari sini tampak
bahwa bagian kunci dari proses memaafkan adalah mengkonfrontasi emosi yang
berkaitan dengan pengalaman yang menyakitkan, menyelesaikannya, dan bahkan
melepaskan emosi negatif terhadap hal yang menyakiti dan menggantikannya dengan
emosi positif (Enright & Fitzgibbons, 2000).
Konsisten dengan
proses ini, Emmons (2000) mengajukan bahwa individu yang memaafkan mempunyai
ketrampilan mengelola emosi yang berkembang dengan baik. Hal ini, memungkinkan mereka
untuk menyelesaikan respon emosi negatif terhadap hal yang menyakiti. Kemampuan
untuk mengelola emosi (emotion management skill) merupakan komponen pada
tingkat yang lebih tinggi dari apa yang seringkali disebut sebagai kecerdasan emosi
(Mayer, Salovey, & Caruso, 2004), yang meliputi kemampuan untuk mengenali, mengasimilasi,
memahami, dan meregulasi emosi. Orang yang terampil mengelola emosi pada tahap
awal akan memperhatikan pengalaman emosional yang akan membuat mereka jelas terhadap
emosi yang dialami. Pada akhirnya, pengelola emosi yang terampil akan dapat meregulasi
dan menyelesaikan emosinya, ketimbang dikuasai oleh emosi tersebut.
Ekspresi emosional
yang sehat (kontrol kemarahan) merupakan
strategi manajemen kemarahan yang membantu individu belajar untuk mencari
solusi positif dalam menghadapi suatu masalah (Paramitasari dan Alfian, 2012).
Perilaku memaafkan digunakan oleh Individu untuk bisa melepaskan semua beban
penderitaan agar mereka tidak menyimpan dendam, menanggung beban pikiran, dan
perasaan sakit. Secara teori, terdapat tiga model pengendalian emosi yang
dilakukan oleh seseorang ketika menghadapi situasi emosi (Hube, 2006), yaitu
pengalihan, penyesuaian kognitif, dan strategi koping.
·
Pengalihan/Displacement.
Pengalihan merupakan suatu cara mengalihkan atau menyalurkan ketegangan emosi
pada obyek lain. Cara yang sering digunakan yakni katarsis. Katarsis ialah
suatu istilah yang mengacu pada penyaluran emosi keluar dari keadaannya.
Sebutan lain untuk katarsis ini juga dikenal istilah “ventilasi‟. Sebagai
contoh, orang yang sedang jatuh cinta namun tak kuasa menyatakan cintanya
karena berbagai sebab, akhirnya dia menulis novel atau kumpulan puisi cinta
yang tak lain merupakan penyaluran emosi dari apa yang sedang dialaminya.
· Penyesuaian
Kognitif/Cognitive Adjustment. Landasan teori penyesuaian kognitif
adalah realitas bahwa kognisi seseorang sangat mempengaruhi sikap dan
perilakunya. Penyesuaian kognitif merupakan cara yang dapat digunakan untuk
menilai sesuai menurut paradigma seseorang yang disesuaikan dengan pemahaman
yang dikehendaki. Pengalaman-pengalaman dalam peta kognisi dicocokkan dengan
berbagai hal yang paling mungkin dan pas untuk diyakini.
· Coping
strategy. Coping dimaknai
sebagai tindakan seseorang dalam menanggulangi, menerima atau menguasai suatu
kondisi yang tidak diharapkan (masalah). Dalam teori psikologi, terdapat dua
strategi coping, yaitu emotional focus coping yang berarti fokus
penanggulangan pada emosi yang dirasakan, dan problem focus coping yang
secara singkat berarti fokus penanggulangan pada masalah yang dihadapi.
Salah satu kunci dari
bagian proses pemaafan itu sendiri adalah pelepasan emosi negatif. Sesuai
dengan hal tersebut, maka kecenderungan pemaafan sendiri berkaitan erat dengan
emosi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengatur emosi memiliki
peranan penting dalam proses pemaafan. Kemampuan tersebut sering kali dikenal
dengan kecerdasan emosional yang berarti kemampuan yang dimiliki individu untuk
mengenali, memahami dan mengatur emosi dalam diri. Orang yang terampil
mengelola emosi akan memperhatikan pengalaman emosional yang akan membuat
mereka jelas terhadap emosi yang dialami. Pada akhirnya, pengelola emosi yang
terampil akan dapat meregulasi dan menyelesaikan emosinya, ketimbang dikuasai
oleh emosi tersebut. Sehingga hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam
memaafkan. Apabila individu mampu mengelola emosinya maka akan lebih mudah
dalam memaafkan terhadap sesuatu yang telah menyakitinya.
Penulis: Griselda M.A Wodong
Editor: Naurah Assyifa Rilfi
Referensi:
- Enright, R. D., & Fitzgibbons, R. P. 2000. Helping clients forgive: An empirical guide for resolving anger and restoring hope.Psychological Association. Washington, DC, US: American
- Hodgson, L. K., & Wertheim, E. H. 2007. “Does Good Emotion Management and Forgiveness Aid Forgiving? Multiple Dimentions of Empathy, emotion management, and forgiveness of Self and Others”. Journal of Social and Personal Relationship , 24 (6) 931-949.
- McCullough, M. E., Rachal, K. C., Sandage, S. J., Everett L. Worthington, J., Brown, S. W., & Brown, T. L. (1998). “Interpersonal Forgiving in Close Relationship: II”. Theoretical and Measurement. Journal of Personality and Social Psychology , 75 (6), 1586-1603.
- McCullough, M. E., Worthington, E. L., & Rachal, K. C. 1997. “Interpersonal forgiving in Close Relationship”. Journal of Personality and Social Psychology , 73 (2), 231-336.
- Paleari, F. G., Regalia, C., & Fincham, F. 2005. Marital quality, forgiveness, empathy, and rumination: A longitudinal analysis. PSPB , 31 (3), 368- 378.
- Subandi, M.A.; Rahmandani, A.; Zuhdiyati, D.R.; Pebriartati, S.; Koeswardani, T.E. (2010). Pemaafan dan Kesehatan Mental. Unpublished paper
- Thompson, Snyder, Hoffman, Michael, Rasmussen, Billings, et al. 2005. “Dispositional Forgiveness of Self, Others, and Situasions”. Journal of Personality , 73 (3), 313-359.
Tidak ada komentar