Memaafkan: Proses Menciptakan Keseimbangan Emosi Untuk Menemukan Damai Dalam Hidup

 

Oliver Boose from pexels.com

Perilaku memaafkan adalah bentuk manifestasi dari tindakan dan kemampuan diri yang berharga untuk menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan yang dihadapi dalam suatu hubungan. Perilaku memaafkan dapat memberikan dampak yang baik untuk psikis maupun fisik, dapat memperbaiki hubungan serta memberikan kesejahteraan dalam menciptakan kedamaian.

Literatur yang berkaitan dengan pemaafan (forgiveness) telah cukup banyak berkembang di Barat (Enrigh, 2009). Di Indonesia topik pemaafan juga sudah mulai banyak dikaji (Subandi dkk., 2010). Memaafkan juga ditemukan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Enright & Fitzgibbons (2000) mengemukakan bahwa memaafkan dapat menghilangkan emosi marah. Sebaliknya, tidak memaafkan (unforgiveness) digambarkan sebagai afek, perilaku, dan respon kognitif yang negatif tehadap orang lain maupun diri sendiri, serta dapat mengantar pada kegagalan dalam fungsi sosial (Toussaint & Webb, 2005).

Sejajar dengan gerakan Psikologi Positif, penelitian-penelitian tentang memaafkan menggeser fokus dari penyakit dan patologi kepada kekuatan dan keunggulan manusia (Thompson, et al., 2005). Memaafkan ditemukan berhubungan dengan kesejahteraan subjektif (subjective wellbeing) dan kesejahteraan psikologis (psychological well being).

Pemberian maaf yang ada dalam diri seseorang terjadi melalui serangkaian proses. Nashori (2008) mengungkapkan adanya empat fase untuk pemberian maaf, yaitu:

  • Fase pengungkapan (uncovering phase), yaitu ketika seseorang merasa sakit hati dan dendam. Pada fase ini mencoba membangun kesadaran bahwa semua orang memiliki kemarahan saat disakiti, namun pilihannya apakah ia akan membuangnya atau mempertahankan rasa marahnya tersebut.
  • Fase keputusan (decision phase), yaitu individu mulai berpikir rasional dan memikirkan kemungkinan untuk memaafkan. Pada fase ini individu mempunyai “perubahan pikiran” dan memilih untuk memaafkan. Individu bekerja keras untuk memaafkan dari waktu ke waktu
  • Fase tindakan (work phase), yaitu adanya tingkat pemikiran baru untuk secara aktif memberikan maaf kepada orang yang telah melukai hati. Pada fase ini memerlukan empati dan niat baik untuk memaafkan.
  • Fase pendalaman (outcome/ deepening phase), yaitu internalisasi kebermaknaan dari proses memaafkan. Disini orang memahami bahwa dengan memaafkan, ia akan memberi manfaat bagi dirinya sendiri, lingkungan dan juga semua orang.

Pemberian maaf yang dilakukan oleh individu yang memiliki konflik, baik antara individu dengan orang lain maupun individu dengan pribadinya sendiri bukan merupakan suatu tahapan yang mudah. Berbagai ahli forgiveness mencatat dalam proses memaafkan, peran emosi  sangat penting dalam menciptakan harmoni untuk diri (Thompson et al.,2005; Hodgson & Wertheim, 2007). Salah satu teori yang sangat berpengaruh adalah Memaafkan dengan Model Proses yang dikemukakan oleh Enright dan Fitzgibbons’s (2000), yang menjelaskan proses yang harus terjadi agar seseorang sampai dapat memaafkan. Model ini meliputi:

  •  Fase pembukaan (uncovering) berupa konfrontasi terhadap rasa sakit emosional yang terjadi akibat dari peristiwa menyakitkan,
  •  Fase pengambilan keputusan, di mana individu menyadari bahwa keputusan untuk memaafkan menguntungkan bagi dirinya,
  •  Fase tindakan, pembentukan perspektif berpikir yang baru (reframing) akan memfasilitasi perspective taking, empati dan rasa iba,
  • Fase hasil, individu memperoleh kelegaan emosional yang pada gilirannya dapat meningkatkan rasa iba.

Dari sini tampak bahwa bagian kunci dari proses memaafkan adalah mengkonfrontasi emosi yang berkaitan dengan pengalaman yang menyakitkan, menyelesaikannya, dan bahkan melepaskan emosi negatif terhadap hal yang menyakiti dan menggantikannya dengan emosi positif (Enright & Fitzgibbons, 2000).

Konsisten dengan proses ini, Emmons (2000) mengajukan bahwa individu yang memaafkan mempunyai ketrampilan mengelola emosi yang berkembang dengan baik. Hal ini, memungkinkan mereka untuk menyelesaikan respon emosi negatif terhadap hal yang menyakiti. Kemampuan untuk mengelola emosi (emotion management skill) merupakan komponen pada tingkat yang lebih tinggi dari apa yang seringkali disebut sebagai kecerdasan emosi (Mayer, Salovey, & Caruso, 2004), yang meliputi kemampuan untuk mengenali, mengasimilasi, memahami, dan meregulasi emosi. Orang yang terampil mengelola emosi pada tahap awal akan memperhatikan pengalaman emosional yang akan membuat mereka jelas terhadap emosi yang dialami. Pada akhirnya, pengelola emosi yang terampil akan dapat meregulasi dan menyelesaikan emosinya, ketimbang dikuasai oleh emosi tersebut.

Ekspresi emosional yang sehat  (kontrol kemarahan) merupakan strategi manajemen kemarahan yang membantu individu belajar untuk mencari solusi positif dalam menghadapi suatu masalah (Paramitasari dan Alfian, 2012). Perilaku memaafkan digunakan oleh Individu untuk bisa melepaskan semua beban penderitaan agar mereka tidak menyimpan dendam, menanggung beban pikiran, dan perasaan sakit. Secara teori, terdapat tiga model pengendalian emosi yang dilakukan oleh seseorang ketika menghadapi situasi emosi (Hube, 2006), yaitu pengalihan, penyesuaian kognitif, dan strategi koping.

·       Pengalihan/Displacement. Pengalihan merupakan suatu cara mengalihkan atau menyalurkan ketegangan emosi pada obyek lain. Cara yang sering digunakan yakni katarsis. Katarsis ialah suatu istilah yang mengacu pada penyaluran emosi keluar dari keadaannya. Sebutan lain untuk katarsis ini juga dikenal istilah “ventilasi‟. Sebagai contoh, orang yang sedang jatuh cinta namun tak kuasa menyatakan cintanya karena berbagai sebab, akhirnya dia menulis novel atau kumpulan puisi cinta yang tak lain merupakan penyaluran emosi dari apa yang sedang dialaminya.

·  Penyesuaian Kognitif/Cognitive Adjustment. Landasan teori penyesuaian kognitif adalah realitas bahwa kognisi seseorang sangat mempengaruhi sikap dan perilakunya. Penyesuaian kognitif merupakan cara yang dapat digunakan untuk menilai sesuai menurut paradigma seseorang yang disesuaikan dengan pemahaman yang dikehendaki. Pengalaman-pengalaman dalam peta kognisi dicocokkan dengan berbagai hal yang paling mungkin dan pas untuk diyakini.

·  Coping strategy. Coping dimaknai sebagai tindakan seseorang dalam menanggulangi, menerima atau menguasai suatu kondisi yang tidak diharapkan (masalah). Dalam teori psikologi, terdapat dua strategi coping, yaitu emotional focus coping yang berarti fokus penanggulangan pada emosi yang dirasakan, dan problem focus coping yang secara singkat berarti fokus penanggulangan pada masalah yang dihadapi.

Salah satu kunci dari bagian proses pemaafan itu sendiri adalah pelepasan emosi negatif. Sesuai dengan hal tersebut, maka kecenderungan pemaafan sendiri berkaitan erat dengan emosi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengatur emosi memiliki peranan penting dalam proses pemaafan. Kemampuan tersebut sering kali dikenal dengan kecerdasan emosional yang berarti kemampuan yang dimiliki individu untuk mengenali, memahami dan mengatur emosi dalam diri. Orang yang terampil mengelola emosi akan memperhatikan pengalaman emosional yang akan membuat mereka jelas terhadap emosi yang dialami. Pada akhirnya, pengelola emosi yang terampil akan dapat meregulasi dan menyelesaikan emosinya, ketimbang dikuasai oleh emosi tersebut. Sehingga hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memaafkan. Apabila individu mampu mengelola emosinya maka akan lebih mudah dalam memaafkan terhadap sesuatu yang telah menyakitinya.

Penulis: Griselda M.A Wodong

Editor: Naurah Assyifa Rilfi

Referensi:

  • Enright, R. D., & Fitzgibbons, R. P. 2000. Helping clients forgive: An empirical guide for resolving anger and restoring hope.Psychological Association. Washington, DC, US: American
  • Hodgson, L. K., & Wertheim, E. H. 2007. “Does Good Emotion Management and Forgiveness Aid Forgiving? Multiple Dimentions of Empathy, emotion management, and forgiveness of Self and Others”. Journal of Social and Personal Relationship , 24 (6) 931-949.
  • McCullough, M. E., Rachal, K. C., Sandage, S. J., Everett L. Worthington, J., Brown, S. W., & Brown, T. L. (1998). “Interpersonal Forgiving in Close Relationship: II”. Theoretical and Measurement. Journal of Personality and Social Psychology , 75 (6), 1586-1603.
  • McCullough, M. E., Worthington, E. L., & Rachal, K. C. 1997. “Interpersonal forgiving in Close Relationship”. Journal of Personality and Social Psychology , 73 (2), 231-336.
  • Paleari, F. G., Regalia, C., & Fincham, F. 2005. Marital quality, forgiveness, empathy, and rumination: A longitudinal analysis. PSPB , 31 (3), 368- 378.
  • Subandi, M.A.; Rahmandani, A.; Zuhdiyati, D.R.; Pebriartati, S.; Koeswardani, T.E. (2010). Pemaafan dan Kesehatan Mental. Unpublished paper
  • Thompson, Snyder, Hoffman, Michael, Rasmussen, Billings, et al. 2005. “Dispositional Forgiveness of Self, Others, and Situasions”. Journal of Personality , 73 (3), 313-359.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.