Pengakuan Diri
Siang hari itu, aku berjalan melewati lorong rumah sakit dengan langkah yang
sedikit lesu. Entah mengapa tiba-tiba saja banyak suara-suara di kepalaku yang
mulai mengganggu. Suara yang dua tahun belakangan semakin sering muncul tanpa
diundang. Aku kenal betul dengan suara-suara itu. Ya, ratusan dan jutaan suara
yang ada di dalam kepalaku sendiri. Tidak ada satu pun orang yang bisa
mendengar suara itu, selain diriku.
Saking sering datangnya, aku sampai hafal suara apa saja itu. Mulai dari pertanyaan,
penyesalan, sampai kemarahan yang rasanya seolah tak berujung. Pandangan
mataku kini mulai terfokus hanya pada jajaran pohon asri di taman rumah
sakit. Aku memilih untuk beristirahat sejenak di salah satu bangku beton yang
sengaja dibuat dengan bentuk melingkari tiap-tiap pohon yang rapi lagi tertata.
Aku
menghela napas yang berat dan panjang bersamaan dengan bungkuknya tubuhku yang coba untuk duduk. Kemudian aku melempar tatapan mengedar ke
setiap sudut taman dengan sorotan mata yang mendung dan sayu. Ada beberapa
orang di sana yang sama-sama sedang terlihat santai atau beristirahat. Mungkin
di antara mereka ada yang seperti diriku, menunggu antrean obat di apotek. Tetapi karena bosan dan jenuh akhirnya mereka memilih duduk-duduk santai di taman
sembari menghirup udara siang yang sejuk dengan semilir tiupan angin
yang cukup kencang.
Dedaunan
kering berjatuhan dengan suara yang khas. Aku mendongak menatap tepat ke arah
pohon yang tinggi. Dari balik sela-sela dedaunan dan ranting-ranting, sinar
matahari seolah-olah mengintip. Aku sedikit mengerjap-ngerjapkan mataku karena
silau. Lalu, dengan raut wajah yang sedikit pucat aku terdiam termenung.
Tanganku menekan-nekan pelipisku dengan cukup kuat. Lagi-lagi, aku menghela
napas. Entah sudah berapa kali aku terus menghela napas seharian ini.
Kedua
mataku kini hanya menatap lurus ke bawah, ke arah sepatu kulitku. Tiba-tiba
sesuatu yang hangat keluar dari kedua ujung mataku. Kian lama kian deras,
seperti air terjun yang jatuh dari ketinggian belasan bahkan puluhan meter. Aku
menyentuh kedua pipiku yang lembut, ah... aku menangis. Air mataku sudah mengalir
dan memenuhi kedua manik mataku. Saat itu aku sudah tak peduli dengan tatapan
orang-orang di sekitarku. Toh, sebenarnya mereka pun tidak terlalu peduli
dengan hal itu. Untungnya aku memakai masker. Jadi, aku tidak terlihat terlalu
menyedihkan.
Sudah
dua tahun lebih lamanya aku tidak asing dengan segala pemandangan juga suasana
di rumah sakit ini. Setiap sebulan sekali aku pergi menemui psikiater untuk
terapi obat. Terkadang, dalam hitungan satu bulan itu aku juga mengikuti terapi
tambahan lainnya untuk mengobati dan menyembuhkan kondisi kesehatan mentalku
yang sulit ditebak seperti badai topan.
Jujur
saja, aku terkadang tak mengerti mengapa aku bisa sampai seperti ini. Ketika
pertama kali guncangan itu datang memorak-porandakan diriku dan dunia kecilku.
Aku belum memiliki kesadaran yang mendalam dan tajam seperti sekarang. Akhirnya
aku paham dengan kondisiku, kenapa aku berubah menjadi seorang yang pemarah, kenapa
aku mengalami kelelahan yang luar biasa hampir setiap waktu, kenapa aku
kesulitan tidur di malam hari, kenapa aku selalu bermimpi buruk sampai-sampai
rasanya aku tak mau tidur karena takut, kenapa aku lebih sering mengurung diri
sendirian dan tak ingin bertemu banyak orang, kenapa kondisi hatiku mudah
berubah-ubah, kenapa aku menjadi sosok yang agresif dan putus asa. Mungkin ini juga jawaban mengapa aku sering diteror dengan pikiran akan kematian dan hampir beberapa kali
mencoba untuk mengakhiri hidup.
Terlalu
banyak luka dan penderitaan yang aku tahan sendirian selama ini. Aku jadi sadar
kenapa akhirnya sekarang aku tumbuh menjadi seseorang yang asing bagi diriku
sendiri. Tekanan jiwa ini telah berhasil menipuku dalam beberapa tahun belakangan.
Aku seakan-akan berubah menjadi seseorang yang jahat, yang tak mengenal diri
dengan baik, yang tak bisa mengontrol emosi dengan bijaksana dan dewasa. Yang
dipenuhi dengan kebencian, kemarahan, kesedihan bahkan dendam.
Aku tenggelam dan tersesat dalam lorong hitam panjang yang seolah tidak ada ujungnya. Di sini benar-benar gelap, dingin dan sepi. Jiwaku hampa, pikiranku kacau, dan hatiku sungguh terluka. Ya, aku hancur, remuk redam karena kegusaran yang ternyata lahir dari rangkaian kejadian traumatis yang aku alami selama masa kecil dan saat aku bertumbuh dewasa. Tumpukan trauma yang tak tersentuh, yang tak pernah terobati itu pada akhirnya menciptakan penderitaan baru. Diperparah dengan diagnosa (bipolar) yang kemudian muncul lagi ke permukaan. Seakan-akan menambah pelik dan rumit kehidupanku. Aku adalah penyintas yang masih berjuang untuk kembali sembuh dan utuh hingga saat ini.
Hari-hari yang dipenuhi air mata,
kekecewaan, penyesalan juga kemarahan. Hari-hari dimana aku merasa benar-benar
muak dan frustrasi, putus asa, bahkan mudahnya mengobral nyawa. Hari-hari dimana aku berusaha keras menutupi semuanya dari
orang-orang yang ada di sekitarku. Dan hari-hari dimana aku kehilangan banyak
hal, seperti teman-teman yang dulu
menghabiskan waktu bersama dengan tawa dan canda, beberapa kali pula aku
kehilangan pekerjaanku, kandasnya kisah asmara, pengkhianatan yang aku rasakan.
Sungguh, aku seperti merasakan, terjebak dalam nerakanya dunia.
Selama masa terapi, dokterku mengatakan
padaku. Kalau aku perlu belajar dan menerima kenyataan. Aku pun dipinta untuk
mulai memaafkan diriku sendiri. Atas segala luka, sakit, dan penderitaan yang telah
kulalui. Seiring lamanya waktu dan usaha yang telah dilakukan, aku mulai
memberikan kasih dan cinta pada diriku. Aku mengakui semua hal-hal itu: menerima kekuranganku, memperbaiki kesalahanku, dan berdamai dengan trauma yang akhirnya mampu membuatku meredam lukaku sendiri. Aku tak lagi menyumpahi
diriku sendiri, apalagi sampai hati membenci diriku seperti di masa lalu. Aku
bertemu dengan sisi tergelap dan terkelam diriku sendiri dengan kejujuran dan
welas asih.
Aku pun tak lagi-lagi mempertanyakan atau
pun meragukan diriku. Atau pusing karena pandangan orang lain terhadapku. Saat
ini, yang benar-benar ingin kulakukan adalah banyak menghabiskan waktu dengan
diriku, berbicara dengannya, serta memberikan perhatian juga kasih sayang yang tak
sempat aku curahkan.
Padamu ingin kusampaikan, semoga kamu memaafkanku, atas segala kesalahan juga luka yang sering aku torehkan di hatimu. Maafkan aku, karena aku pernah menjadi seseorang yang paling keras, senang melempar kritik, dan bahkan sampai hati membenci juga meninggalkanmu. Saat ini, aku tak akan banyak menuntutmu lagi. Aku benar-benar hanya ingin memperbaiki hubungan yang buruk dan sempat hancur di masa lalu. Padamu ingin kusampaikan, betapa aku berterima kasih dan menyayangimu. Terima kasih karena tetap bertahan lagi berjuang. Terakhir aku minta maaf...sungguh maafkan aku karena sering membuatmu menangis dan merasa kesepian.
Penulis: Afnan Syahirain
Editor: Naurah Assyifa Rilfi
Tidak ada komentar